
Wonogiri, // Buserindonesia.id // Peristiwa dugaan penipuan yang melibatkan Oknum Ketua DPC Partai Gerindra Kabupaten Wonogiri, Suryo Suminto, terhadap seorang calon bupati yang pada waktu itu dari kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Haji Tarso, membuka wacana penting mengenai integritas politik lokal, etika partai, dan potensi pelanggaran hukum dalam proses pencalonan kepala daerah. Studi kasus ini tidak hanya menyingkapi praktik transaksional dalam demokrasi elektoral, tetapi juga menjadi refleksi atas lemahnya mekanisme akuntabilitas internal partai politik di Indonesia.

Pada masa kampanye Pemilu dan menjelang Pilkada 2024, terjadi sebuah peristiwa yang menyita perhatian publik di Wonogiri, Jawa Tengah. Seorang tokoh politik lokal, Haji Tarso, yang juga merupakan mantan anggota Fraksi PDIP Wonogiri, mengklaim telah menjadi korban dugaan penipuan yang dilakukan oleh Oknum Ketua DPC Partai Gerindra Wonogiri, Suryo Suminto. Dugaan ini bermula dari proses pencalonan Haji Tarso sebagai bakal calon bupati Wonogiri melalui Partai Gerindra. Sehingga Haji Tarso melepas keanggotaan sebagai kader PDIP Wonogiri.
Haji Tarso menyatakan bahwa dirinya diminta untuk mengikuti proses pencalonan oleh Ketua DPC Gerindra, Suryo Suminto, yang bahkan menjanjikan dukungan penuh dari partainya. Sebagai bagian dari kesepakatan tidak tertulis dalam kerja sama politik tersebut, Haji Tarso menyerahkan dana sebesar Rp 500 juta kepada pihak DPC Gerindra Wonogiri. Dana ini disebut sebagai bentuk kontribusi untuk keperluan logistik dan konsolidasi politik di tingkat akar rumput.
Namun, setelah berlangsungnya beberapa kegiatan kolaboratif—yang juga dihadiri oleh Ketua DPD Gerindra Jawa Tengah, Sudaryono, dan sejumlah kader serta simpatisan partai—dukungan mendadak dicabut oleh Suryo Suminto. Terungkap bahwa pencabutan ini diduga berkaitan dengan kepentingan pribadi, yakni pengusungan menantu Suryo Suminto oleh calon rival, Setyo Sukarno, sebagai calon wakil bupati.

Secara sosiologis, fenomena ini mencerminkan relasi patron-klien dalam politik lokal di Indonesia. Relasi ini terjadi ketika aktor politik lokal memanfaatkan posisi dan otoritasnya untuk melakukan transaksi dengan pihak yang membutuhkan dukungan struktural partai, sebagaimana dijelaskan dalam kajian clientelism oleh James C. Scott (1972). Dinamika seperti ini juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan politik sering kali dikapitalisasi secara personal oleh elite partai.
Praktik ini dapat merusak nilai-nilai demokrasi karena mendistorsi prinsip meritokrasi dalam proses pencalonan kepala daerah. Politik uang dan penyalahgunaan otoritas internal partai menjadi hambatan utama dalam menciptakan kontestasi yang sehat dan terbuka.
Tinjauan Hukum
Dari perspektif hukum, tindakan yang dilakukan oleh oknum Ketua DPC Gerindra dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH), sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Selain itu, unsur dugaan penipuan juga dapat dikaji berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan suatu barang, membuat utang atau menghapus piutang, dihukum karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Jika benar terbukti bahwa dana sebesar Rp 500 juta diserahkan atas dasar janji dukungan politik yang kemudian dibatalkan secara sepihak, dan hanya dikembalik
Potensi Pelanggaran Etik Partai Politik
Selain aspek hukum positif, kasus ini juga dapat dibawa ke Mahkamah Partai atau Badan Kehormatan Partai, karena menyangkut nama baik institusi. Partai politik memiliki tanggung jawab menjaga integritas kadernya agar tidak menjadi alat transaksi elektoral.
Peristiwa ini menunjukkan pentingnya reformasi struktural dalam tubuh partai politik di Indonesia, khususnya dalam hal rekrutmen calon kepala daerah yang bebas dari praktik transaksional. Integritas dan transparansi harus menjadi pilar utama dalam proses pencalonan agar partai politik tidak terjerumus menjadi institusi yang sekadar menjalankan praktik jual beli pencalonan.
Dari aspek hukum, perlu adanya penegakan hukum yang tegas terhadap oknum-oknum yang menyalahgunakan kekuasaan politik untuk kepentingan pribadi. Mekanisme pengawasan internal partai serta peran aktif Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat penting untuk memastikan demokrasi berjalan sesuai dengan koridornya.
Pewarta : marlan / Red