Aceh Tenggara —Tahun anggaran 2025 telah berjalan lima bulan penuh—cukup dihitung dengan jari tangan—namun tunjangan dan hak perangkat desa se-Kabupaten Aceh Tenggara belum dibayarkan satu rupiah pun.
Fakta ini memicu kemarahan dan kekecewaan luas, sekaligus membuka borok tata kelola pemerintahan daerah.
Macet totalnya pembayaran bukan lagi sekadar keterlambatan administrasi, melainkan bukti nyata kegagalan komitmen pemerintah daerah dalam memenuhi kewajibannya terhadap aparat desa yang menjadi garda terdepan pelayanan publik.
Perangkat desa tetap bekerja menjalankan administrasi pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan tugas sosial kemasyarakatan, namun hak mereka justru diabaikan. Kondisi ini dinilai sebagai bentuk pembiaran yang tidak manusiawi.
“Kami dituntut loyal dan disiplin, tetapi hak kami diinjak. Lima bulan tanpa pembayaran adalah penghinaan,” tegas salah satu perangkat desa.
Publik kini secara terbuka mempertanyakan:
di mana tanggung jawab Bupati Aceh Tenggara sebagai kepala daerah?
di mana peran Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai pengendali administrasi pemerintahan?
dan apa yang dikerjakan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) serta pejabat keuangan daerah?
Sebagai penanggung jawab utama pengelolaan anggaran, Sekda dan BPKD tidak bisa cuci tangan.
Jika anggaran tersedia, mengapa tidak dicairkan? Jika tidak tersedia, mengapa tidak disampaikan secara jujur dan terbuka kepada publik?
Lebih ironis lagi, DPRK Aceh Tenggara dinilai tumpul dan gagal menjalankan fungsi pengawasan. Lima bulan tunggakan berlalu tanpa sikap tegas, tanpa rekomendasi terbuka, tanpa keberpihakan nyata kepada perangkat desa.Akibat tunggakan ini,Bersambung………..
Pewarta : Salikin .M
