
Bengkulu – Penanganan perkara Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus dugaan pencurian tandan buah segar (TBS) milik KMD di Desa Ujung Padang, Kabupaten Mukomuko, memasuki babak baru. Setelah melalui komunikasi intens antara pelapor dan pihak Propam Polda Bengkulu, diketahui bahwa surat resmi pengaduan masyarakat Ujung Padang kini telah berada di meja Kadiv Propam Polda Bengkulu dan akan segera ditindaklanjuti dalam waktu dekat.
Langkah ini menjadi titik terang dalam penantian panjang masyarakat yang menilai terbitnya SP3 tersebut penuh kejanggalan dan cacat prosedural. Beberapa ahli hukum dan mantan penyidik Polri bahkan menyebut, peluang penyidik yang menangani perkara ini untuk lolos dari sanksi etik hingga Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sangat kecil, mengingat rapuhnya dasar hukum yang digunakan dalam penerbitan SP3 tersebut.
Menurut Ahli Profesi Polri dan Hukum Pidana, Dr. (H.C.) Arifin S., M.H., hasil telaah atas isi SP3 Polres Mukomuko menunjukkan indikasi pelanggaran serius terhadap prinsip objektivitas dan profesionalitas penyidikan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri (KEPP) dan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
“SP3 yang dikeluarkan dengan alasan tidak ditemukan unsur pidana, padahal bukti-bukti materil seperti surat pernyataan kepala desa, nota timbang hasil panen, serta keterangan saksi-saksi tidak dipertimbangkan secara utuh — ini bukan sekadar kesalahan administrasi, tapi pelanggaran etik berat,” tegas Arifin.
Ia menambahkan, SP3 yang bertentangan dengan fakta lapangan dan mengabaikan alat bukti utama, secara yuridis mudah digugat melalui mekanisme praperadilan (Pasal 77 huruf a KUHAP), serta dapat menjadi dasar pemeriksaan etik terhadap penyidik terkait.
Berdasarkan kajian hukum internal, terdapat sejumlah pasal yang berpotensi dilanggar oleh penyidik, di antaranya:
Pasal 13 ayat (1) huruf a dan b Perkap No. 14/2012, tentang kewajiban penyidik menjunjung tinggi asas profesionalitas dan proporsionalitas dalam setiap tahapan penyidikan.
Pasal 5 huruf a dan e Perkap No. 7/2022 (KEPP), yang menegaskan anggota Polri wajib jujur, objektif, dan tidak menyalahgunakan wewenang dalam menjalankan tugas penyidikan.
Pasal 421 KUHP, tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik yang merugikan hak masyarakat atau perorangan.
Kasus serupa pernah terjadi di Polres Kutai Timur tahun 2021, di mana seorang penyidik dinyatakan melanggar etik berat setelah menerbitkan SP3 tanpa dasar hukum kuat dalam kasus penggelapan. Hasil pemeriksaan Propam dan Komisi Kode Etik Polri (KKEP) kala itu menyimpulkan bahwa penyidik terbukti melakukan “penyalahgunaan diskresi penyidikan” dan dijatuhi sanksi PTDH.
Preseden ini menjadi pembanding kuat bahwa Propam Polda Bengkulu memiliki dasar untuk menindak tegas penyidik Satreskrim Polres Mukomuko jika terbukti melanggar prosedur serupa.
Sementara itu, Kuasa Hukum masyarakat Ujung Padang menyatakan pihaknya tengah menyiapkan gugatan praperadilan untuk membatalkan SP3 tersebut. Menurutnya, seluruh bukti fisik, nota timbang, hingga pernyataan resmi kepala desa yang menegaskan penguasaan lahan oleh pemerintah desa telah diabaikan penyidik.
“Kami hormati mekanisme hukum, tapi kami juga tidak akan tinggal diam. Fakta lapangan jelas, saksi-saksi jelas, alat bukti kuat. Kalau masih disimpulkan tidak ada tindak pidana, maka kami akan buktikan sebaliknya di pengadilan,” ujar kuasa hukum tegas.
Di tengah derasnya sorotan publik, pengawasan internal Polri kini ditunggu langkah nyatanya. Bila dugaan pelanggaran penyidikan terbukti, maka langkah Propam Polda Bengkulu menindaklanjuti laporan ini akan menjadi tolak ukur seriusnya komitmen Kapolri dalam membenahi integritas penyidik di daerah.
Pewarta: Buser Indonesia(Tiem).