
Oktober 10, 2025 / 1447
Oleh : By ISMED, S. Sos, MBA
Dharmasraya, www. buserindonesia.id. Mengimani dan mempercayai takdir adalah salah satu rukun iman, yang wajib diyakini oleh umat Islam yang beriman.Sering kita lihat, terjadi beragam pandangan dalam menyikapi takdir yang telah ditetapkan oleh Allah Swt berbeda beda.
Iman kepada takdir Allah Swt adalah meyakini bahwa setiap kebaikan dan keburukan pasti datangnya dari Allah dan seizin-Nya. Namun demikian, bukan tidak berarti usaha, upaya kerja keras yang dilakukan seorang hamba, dengan memaksimalkan potensi, ilmu pengetahuan dan keterampilan, yang dimiliki dalam terwujudnya sebuah takdir, atau pun sebuah rencana yang telah dimaksimalkan melalui ikhtiar dan do’a.
Di sisi lain Allah Swt memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan pilihan dalam hidup dan kehidupannya. Termasuk dalam menentukan keyakinannya, mau beriman atau mau kufur.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah Al-Kahfi ayat 29 :
” Wa qulil haqqu mirrabbikum, faman
syaa-a falyukmin wa man syaa-a falyakfur.
Artinya : Dan katakanlah ( Muhammad )Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu barang siapa menghendaki ( beriman ) hendaklah dia beriman dan barang siapa menghendaki ( kafir ) biarlah dia kafir “. Q.S. 18.29.Dalam ayat di atas Allah Swt memberikan opsi, pilihan kepada manusia
Kebebasan memilih dari Allah Swt seolah-olah bertentangan pula dengan sifat Allah Swt Yang Maha Pencipta dan Maha Berkuasa.Hal ini terdapat dalam Al-Quran surah Ash-Shaaffaat ayat 96 :
” Wallaahu khalaqakum wa maa ta’maluun.
Artinya : ” Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.
Dalam ayat lain Allah berfirman :
” In ahsantum ahsantum lianfusikum, wa in asa’tum falahaa.
Artinya : ” Jika kamu berbuat baik
( berarti ) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka ( kerugian kejahatan ) itu untuk dirimu
sendiri “. ( Q.S. 17.7 ).
Dalam ayat ini Allah Swt pun menjelaskan dengan tegas dan gamblang, bahwa amal kebaikan yang dilakukan manusia itu pada dasarnya adalah untuk mereka sendiri. Begitu pula kejahatan yang dilakukan oleh manusia, akibat kejahatan itu juga buat yang mengerjakannya.
Sementara itu, Rasulullah Muhammad SAW dalam setiap selesai shalat selalu membaca :
” Laa ilaaha illallahu wahdahuu laa syariikalahuu, Allaahumma laa mani’a limaa a’thaita wa laa mu’thiya limaa mana’ta wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu.
Artinya : ” Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang Engkau beri, tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi, tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber dari-Mu “.
( H.R Bukhari ).
Dalam ayat lain ditemukan firman Allah Swt :
” Wa maa tasyaa-uuna illaa ayyasyaa-allaahu.
Artinya : ” Apa yang kamu kehendaki,
( tidak dapat terlaksana) kecuali dengan kehendaki Allah jua “. ( Q.S. 76.30 ).
Bagaimana pun kehebatan manusia, mustahil tidak ada campur tangan Allah Swt dalam mewujudkan dan merealisasikan apa yang dikehendakinya.
Sebenarnya, tidak ada satu ayat atau pun hadis di atas yang bertentangan, mengenai takdir ini.Untuk lebih jelasnya pemahaman tentang beriman kepada takdir, sebaiknya penulis kemukakan takdir dalam bahasa Al-Quran.
Kata takdir ( taqdir ) berasal dari qaddara, akar katanya qadara, berarti mengukur, memberi kadar, atau ukuran. Jika seseorang mengatakan Allah Swt telah mentakdirkan ini.Pernyataan berarti, Allah telah memberikan kadar, ukuran, batasan tertentu dalam diri, sifat atau kemampuan maksimal makhluk-Nya.
Dari pengertian di atas semakin jelas dan teranglah, bahwa pada dasarnya semua makhluk itu, telah ditetapkan takdirnya oleh Allah Swt. Membicarakan takdir berarti kita membahas tentang takaran, ukuran dan batasan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt di Lauh Mahfuzh. Demikianlah semoga bermanfaat.
Jurnalis by Ismed