
Mukomuko –
Kuasa hukum masyarakat Ujung Padang akhirnya buka suara menanggapi pernyataan resmi Humas Polres Mukomuko yang menyebut bahwa penghentian penyidikan kasus pencurian tandan buah segar (TBS) milik KMD dilakukan sesuai dengan manajemen penyelidikan dan ketentuan KUHAP.
Menurut kuasa hukum, klarifikasi tersebut tidak lebih dari upaya pembenaran administratif yang rapuh dan tidak berdasar fakta hukum di lapangan.
“Polres Mukomuko menyatakan belum ditemukan peristiwa pidana, padahal bukti dan fakta sudah sangat jelas. Ini bukan masalah kurang bukti, tapi kelalaian dalam menilai bukti,” tegas kuasa hukum.
Dalam perkara ini, terdapat nota timbang hasil panen, barang bukti tandan buah segar (TBS), keterangan puluhan saksi, serta identitas penadah hasil curian yang semuanya telah diserahkan kepada penyidik.
Selain itu, terdapat surat pernyataan resmi Kepala Desa Ujung Padang tertanggal 12 Juni 2025 yang menegaskan bahwa kebun milik KMD telah diambil alih oleh pemerintah desa dan bahwa tidak ada pihak lain yang berhak memanen hasil kebun tersebut.
Pernyataan tersebut bahkan disertai dengan kalimat tegas dari kepala desa:
“Saya siap dituntut hukum jika pernyataan saya tidak benar”
Hal itu sama saja mengatakan jika terbukti masih ada pihak lain yang memanen kebun KMD selain pemerintah desa, kades juga siap dituntut dimuka hukum, dan apakah ini bukankah suatu bukti nyata?”
Namun faktanya, pada 25 Juli 2025, atau sebulan setelah surat itu ditandatangani, pihak pengurus lama KMD justru terbukti kembali melakukan pemanenan.
Kejadian itu disaksikan oleh warga dan didukung bukti fisik berupa nota timbang sawit yang dijual ke penadah tertentu.
Kuasa hukum menilai pernyataan Humas Polres Mukomuko yang menyebut “belum ditemukan peristiwa pidana” merupakan bentuk penyimpangan logika hukum dan pelanggaran asas penyidikan yang objektif.
Dalam KUHAP Pasal 1 butir 2 dan 5, dijelaskan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti guna membuat terang suatu tindak pidana.
Namun dalam kasus ini, penyidik justru menutup perkara tanpa menilai secara utuh seluruh bukti dan keterangan saksi, hanya bersandar pada pendapat satu orang ahli.
“Keterangan ahli adalah instrumen pendukung, bukan satu-satunya dasar untuk menghapuskan unsur pidana. Penyidik tidak boleh mengabaikan alat bukti materiil dan saksi-saksi hanya karena pandangan seorang ahli,” jelas kuasa hukum.
Lebih jauh, kuasa hukum menilai pola pikir penyidikan semacam ini mengindikasikan lemahnya pengawasan pimpinan Satreskrim dan Kapolres.
Polres Mukomuko dinilai gagal menerapkan prinsip “two-tier responsibility”, di mana tanggung jawab moral dan profesional atas tindakan penyidik juga melekat pada pimpinan langsung.
Menurut kuasa hukum, SP3 ini mencerminkan krisis integritas dalam sistem penyidikan Polres Mukomuko.
Pimpinan institusi seharusnya tidak serta merta menyetujui hasil gelar perkara tanpa menguji konsistensi antara bukti lapangan, keterangan saksi, dan dokumen hukum yang sah.
“Jika semua bukti sudah terang dan pelaku sudah jelas, namun penyidik justru menutup perkara, maka yang rusak bukan hanya proses hukum, tapi reputasi Polres Mukomuko itu sendiri,” tegasnya.
Kuasa hukum juga menyebut bahwa dalam waktu dekat, mereka akan melaporkan kembali perkara ini ke Ditreskrimum Polda Bengkulu dengan dasar hukum Pasal 7 KUHAP dan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang wewenang penyidik tingkat Polda untuk mengambil alih perkara yang penanganannya dinilai tidak profesional di tingkat Polres.
Selain pelimpahan perkara, masyarakat Ujung Padang bersama kuasa hukumnya mendesak Propam Polda Bengkulu dan Kompolnas RI untuk turun tangan melakukan pemeriksaan internal terhadap penyidik yang menangani kasus ini.
“Jangan biarkan hukum di Mukomuko dikerdilkan oleh tafsir sempit dan pembenaran prosedural. SP3 ini cacat sejak awal — dan Polres Mukomuko harus bertanggung jawab,” tutupnya.
Pewarta: Buser Indonesia Tiem