
Pemerintahan Mitha bagai perahu tua yang berangkat dari dermaga dengan layar compang-camping. Ia berlayar tertatih-tatih, dihantam gelombang besar sebelum sempat menjauh dari pantai. Dari mula, kapal ini sesungguhnya sudah retak di lambungnya.
Legitimasi tipis menjadi luka pertama. Satu-satunya calon, namun hanya mengantongi 57% suara. Tonggak kemenangan yang mestinya tegak gagah, ternyata rapuh, bagai menara yang dibangun di atas pasir.
Kursi kekuasaan itu dikelilingi tepuk tangan setengah hati, penuh bisik-bisik sinis tentang betapa tipis dukungan rakyat yang sejati.Koalisi penuh pun dibentuk: 100% anggota dewan dan seluruh partai pemilik kursi digandeng ke dalam gerbong kekuasaan.
Namun, di balik jargon kebersamaan, publik mafhum, harga yang harus dibayar amat mahal. Biaya besar yang tak kasat mata mengikat janji politik: proyek, jabatan, dan konsesi. Semua pihak merasa telah membeli tiket, dan kini menagih kursi di ruang kendali.Di tubuh pemerintahan, retakan terdengar sejak dini. ASN diperlakukan bukan sebagai birokrat profesional, melainkan pion di papan catur politik.
Mutasi ASN yang hampir setahun tak kunjung ditetapkan, menjadi cermin betapa formasi jabatan lebih diwarnai kalkulasi politis daripada asas profesionalisme. Kehati-hatian yang berlebihan justru memupuk kepanikan, dan ketidakpastian melahirkan ketidakpercayaan.
APBD yang minus menjadi kayu lapuk penyangga rumah besar ini. Janji-janji kampanye yang berbaris panjang menunggu ditepati, sementara kas daerah kerontang. Akibatnya, power sharing semakin timpang, perjalanan pemerintahan semakin gamang, arah semakin tak tentu.Di luar pagar, gema “tagih janji” terdengar setiap hari. Rakyat, relawan, dan partai koalisi bersuara keras. Semua merasa berjasa, semua meminta prioritas. Tagihan itu mengikuti langkah Mitha ke mana pun ia melangkah, bagai bayang-bayang yang tak pernah mau pergi.Sementara itu, publik menyaksikan ironi lain. Proyek pembangunan di Brebes kian timpang: di satu sisi, banyak proyek dibiarkan lewat penunjukan langsung yang rawan kepentingan; di sisi lain, masyarakat desa justru swadaya membangun jalan. Bukan karena kesadaran, melainkan karena merasa dikhianati—janji infrastruktur tak kunjung ditepati.Citra politik terus dipoles setiap hari.
Dinas diwajibkan aktif bermedsos, seolah-olah pencitraan bisa menutupi kenyataan. Namun, masyarakat sudah cukup cerdas: mereka bisa membedakan antara tayangan kamera dan kerja nyata. Maka, barisan kekecewaan perlahan tumbuh, berubah menjadi barisan sakit hati yang mulai melangkah, mencari ruang untuk bersuara.Ngurus satu perusda saja, PDAM Tirta Baribis, sudah menimbulkan banyak perkara. Rangkap jabatan, tumpang tindih kewenangan, hingga kisruh internal yang tak kunjung reda. Bagaimana mungkin mesin besar birokrasi bisa berjalan bila mesin kecil saja macet total?Perjalanan Sekretaris Daerah pun penuh kegamangan.
Dari status Plh, naik ke Pj, lalu kini digiring ke seleksi, seolah-olah pemerintah sendiri tak punya kepastian tentang siapa yang layak dipercaya. Semua ini hanya memperkuat kesan: pemerintahan ini berjalan dalam keraguan dan kebimbangan, bukan dalam keyakinan.Lebih getir lagi, nama Mitha sendiri sempat disebut-sebut dan dipanggil KPK dalam pusaran kasus.
Betapapun narasi pembelaan digaungkan, bayang-bayang hukum itu tetap menempel. Publik pun semakin yakin, ada yang busuk di balik layar panggung kekuasaan.Maka, perjalanan ini bukanlah arung yang gagah. Ini adalah zaman pemerintahan yang penuh retakan, tabrakan kepentingan, dan aroma nepotisme yang menyesakkan udara Brebes. Jika dibiarkan, perahu bernama Brebes ini akan karam sebelum sempat menyeberangi samudra janji yang dulu dielu-elukan.

Untung Setyono angota Rumah Rakyat Indonesia